Minggu, 15 Juni 2025
Nor Amalliyah
Pesantren seringkali dianggap sebagai tempat yang mampu secara instan mengubah anak menjadi pribadi sholeh atau sholehah, seolah-olah dengan “simsalabim”, padahal realitanya tidak sesederhana itu. Pesantren bukanlah tempat sulap yang bisa mengubah
anak dalam sekejap. Pembentukan karakter dan akhlak mulia adalah proses panjang yang memerlukan waktu, kesabaran, dan sinergi dari berbagai pihak. Di pesantren, anak-anak memang mendapatkan lingkungan yang kondusif untuk belajar agama, memperbaiki akhlak, dan membangun kedisiplinan. Namun, hasil maksimal hanya akan tercapai jika ada kolaborasi erat antara guru di sekolah, ustadz/ustadzah di pesantren,
serta peran utama orang tua di rumah karena setiap pihak memiliki peran penting.
Ustadz dan ustadzah di pesantren memiliki peran sentral dalam membimbing santri,
khususnya dalam pendalaman agama dan pembiasaan ibadah sehari-hari. Mereka tidak hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama seperti fiqih, tauhid, dan akhlak, tetapi juga
secara konsisten membimbing santri untuk menginternalisasi nilai-nilai religius melalui praktik ibadah yang disiplin dan teratur. Selain itu, ustadz dan ustadzah juga membantu santri menghadapi tantangan moral dan sosial, baik di lingkungan pesantren maupun
di luar pesantren.
Guru di sekolah juga memiliki peran krusial dalam mengoptimalkan pencapaian
pembentukan karakter anak, terutama jika dikaitkan dengan sinergi antara guru,
ustadz/ustadzah di pesantren, dan orang tua. Guru di sekolah tidak hanya bertugas
mengajar materi akademik, tetapi juga menjadi perancang pembelajaran yang efektif untuk menanamkan nilai-nilai karakter seperti kejujuran, kedisiplinan, dan tanggung jawab. Guru bertindak sebagai fasilitator pengembangan sosial dan emosional siswa, menciptakan lingkungan belajar yang mendukung kerja sama, empati, dan pengelolaan emosi yang sehat.
Dalam hal ini orangtua yang memiliki peran terbesar, dimana orangtua adalah
pendukung utama yang memastikan anak merasa aman, termotivasi, dan terarah
selama menempuh pendidikan di pesantren. Orang tua tidak boleh melepas tanggung jawabnya begitu saja, melainkan harus terus memberikan dukungan baik secara spiritual, emosional, sosial, maupun finansial. Ketika seorang santri mengalami masalah di pesantren, tidak jarang muncul reaksi dari sebagian orang tua yang langsung menyalahkan lembaga tanpa melakukan refleksi “apakah selama ini aku cukup hadir untuk anakku?”. Padahal, perilaku dan kondisi mental anak di pesantren tidak lepas dari pola asuh dan pengalaman yang mereka bawa
dari rumah. Bahkan ada beberapa santri juga datang dengan luka dari rumah. Karena pola asuh orang tua, baik otoriter maupun permisif, sangat berpengaruh terhadap kemandirian, kesehatan mental, dan perilaku remaja, termasuk saat mereka berada dilingkungan pesantren.
Ketika ketiganya bersinergi terlibat aktif dalam setiap proses, peluang anak untuk
tumbuh menjadi pribadi yang baik akan jauh lebih besar. Pesantren memang bukan tempat sulap, namun pesantren adalah salah satu tempat terbaik untuk
memperbesar peluang terbentuknya generasi yang cerdas, berakhlak mulia,
sholeh/sholehah.