“Sisa Makanan Orang Gila” (Kisah Sufi dari Majelis Abu Yazid al-Bustami)


Di pagi yang sejuk di kota Bistam, murid-murid duduk melingkar mengelilingi gurunya, Abu Yazid al-Bustami. Wajah sang sufi tua tampak bercahaya, matanya tajam tapi lembut, menatap satu per satu muridnya.

Abu Yazid:
“Wahai anak-anak ruhani… Siapa di antara kalian yang ingin berjalan lebih jauh di jalan hakikat?”

Semua murid menunduk, tapi satu orang muda mengangkat tangan. Namanya Harits, seorang pemuda cerdas dan penuh semangat, baru tiga tahun berguru pada Abu Yazid.

Harits:
“Aku, wahai Syaikh. Ajarkan aku jalan orang-orang yang telah melebur dalam cinta Allah.”

Abu Yazid mengangguk pelan, lalu berkata dengan suara tenang:

Abu Yazid:
“Kalau begitu, ambillah sekeranjang roti basi. Pergilah ke pasar. Berikan roti itu pada orang-orang, dan katakan: ‘Ambillah, ini sisa makanan orang gila.'”

Harits tertegun.
Mulutnya sedikit terbuka, seolah ingin bertanya apakah ia salah dengar.

Harits:
“Maaf, Syaikh… Aku harus mengatakan itu… tentang diriku?”

Abu Yazid:
“Tepat sekali. Katakan bahwa itu sisa makananmu. Dan teriakkan dengan suara jelas. Bukan berbisik.”

Para murid lain saling pandang. Beberapa menahan napas. Harits menunduk. Mukanya memerah.

Harits (pelan):
“Apakah ini bagian dari suluk, wahai guru?”

Abu Yazid (lembut):
“Ini adalah kunci awalnya. Engkau ingin fana’, tapi masih takut dinilai orang. Engkau berkata ingin melihat wajah Allah, tapi engkau masih mematut wajahmu di cermin manusia. Bagaimana mungkin dua wajah bisa bersatu?”

Harits menggigit bibirnya. Air matanya menetes diam-diam.

Keesokan harinya, ia melangkah ke pasar seperti diperintahkan. Wajahnya dingin diterpa tatapan sinis para pedagang dan anak-anak kecil yang mengejek. Tapi mulutnya tetap mengucapkan kalimat yang diperintahkan gurunya:

“Ini… sisa makanan orang gila…”

Beberapa orang tertawa. Yang lain menggeleng. Tapi dalam hatinya, Harits justru merasakan sesuatu yang belum pernah ia kenal sebelumnya: ringan.

Malam harinya, ia kembali ke majelis dengan mata sembab.

Abu Yazid (tersenyum):
“Sekarang engkau layak diberi setetes dari samudra-Nya. Karena hatimu mulai kosong dari selain Dia.”

Harits menangis, bukan karena sedih, tapi karena bahagia.

Artikel

Comments are disabled.