oleh Fatus Atoul Malik
Di era informasi yang serba cepat dan serba instan, kita dihadapkan pada tantangan untuk menyaring kebenaran dari lautan kebohongan. Fakta-fakta ilmiah seringkali dikalahkan oleh opini-opini yang mengumbar sensasi. Kedalaman pemikiran seringkali tersingkir oleh kedangkalan yang mudah dicerna. Apakah kita ingin meninggalkan dunia di mana kebenaran tidak lagi memiliki nilai, di mana kebohongan yang diulang-ulang dianggap sebagai kenyataan, di mana logika yang jernih dikalahkan oleh emosi yang meluap-luap?. Oleh karena itu, pengetahuan dan kebijaksanaan tidak kalah pentingnya sebagai warisan yang harus kita tinggalkan.
Perkembangan teknologi yang semakin pesat juga bagian dari warisan kita. Apakah kita akan meninggalkan dunia di mana teknologi menjadi tuan dan manusia menjadi budak?. Atau dunia di mana teknologi menjadi alat untuk membebaskan manusia dari pekerjaan-pekerjaannya?. Apakah kecerdasan buatan yang diciptakan akan menjadi perpanjangan dari kemanusiaan, atau justru akan menggantikan kemanusiaan itu sendiri?.
Kita juga harus menyadari bahwa nilai-nilai yang kita pegang hari ini akan menjadi pondasi kehidupan bagi generasi mendatang. Dalam dunia yang semakin materialistis, di mana “memiliki” seringkali dianggap lebih penting daripada “menjadi”, apakah kita masih memegang teguh nilai-nilai seperti integritas, kejujuran, dan kebaikan?. Dalam dunia yang semakin individualis, di mana “aku” seringkali lebih diutamakan daripada “kita”, apakah kita masih menjunjung tinggi solidaritas, gotong royong, dan kepedulian pada sesama?. Dalam dunia yang semakin pragmatis, di mana “hasil” seringkali lebih dihargai daripada “proses”, apakah kita masih menghormati nilai-nilai seperti kesabaran, ketekunan, dan kerja keras?.
Warisan budaya yang telah ditinggalkan oleh pendahulu kita dan kini menjadi tanggung jawab kita juga tidak kalah pentingnya. Bahasa-bahasa daerah yang semakin terpinggirkan, tradisi-tradisi lokal yang semakin dilupakan, kearifan-kearifan nenek moyang yang semakin terkikis, semua ini adalah kekayaan yang sedang kita sia-siakan. Dalam arus globalisasi yang deras, di mana homogenisasi budaya adalah ancaman nyata, apakah kita masih memiliki keberanian untuk menjaga keberagaman dan keunikan?. Apakah kita masih memiliki kebijaksanaan untuk menghargai warisan budaya yang tidak ternilai harganya?.
Sebagai makhluk yang memiliki kesadaran akan keberadaannya, kita manusia memiliki tanggung jawab yang tidak dimiliki oleh makhluk lain. Kita memiliki kemampuan untuk melihat jauh ke depan, untuk memahami konsekuensi dari tindakan, untuk memilih ke mana kita harus berjalan. Dan pilihan-pilihan itulah yang akan menentukan warisan seperti apa yang akan kita tinggalkan.
Mungkin, warisan terbesar yang dapat kita tinggalkan adalah kesadaran bahwa kita adalah bagian dari sebuah rantai yang tak terputus, rantai kehidupan yang menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan. Kita adalah penjaga dari kehidupan yang telah dititipkan kepada kita, dan tugas kita adalah untuk menyerahkannya kepada generasi berikutnya dalam keadaan yang lebih baik daripada ketika kita menerimanya.
Dalam kegelapan malam yang sunyi, ketika kita memandang langit yang dipenuhi bintang, mungkin kita perlu bertanya pada diri sendiri, ketika kita pergi nanti, apa yang akan kita tinggalkan?. Apakah kita akan meninggalkan dunia yang lebih baik, lebih adil, lebih lestari?. Atau hanya sekumpulan puing-puing dari keserakahan dan ketidakpedulian?. Jawabannya tidak terletak pada kata-kata yang kita ucapkan, tetapi pada tindakan yang kita lakukan hari ini, besok, dan seterusnya.
Pada akhirnya, warisan terbesar yang dapat kita tinggalkan bukanlah monumen-monumen megah atau harta benda yang melimpah. Warisan terbesar kita adalah bukti bahwa kita pernah peduli, peduli pada bumi yang kita pijak, peduli pada manusia yang hidup bersama kita, dan peduli pada mereka yang belum lahir, yang suatu hari nanti akan menghirup udara yang sama, melihat matahari yang sama, dan bermimpi tentang bintang-bintang yang sama seperti yang kita lakukan malam ini.