Belajar dari Almarhum Abah H Sholeh, Menjadi high profile dihadapan Allah SWT.


Ketika membicarakan high profile mungkin yang muncul dalam pandangan dan ingatan kita adalah seseorang yang mempunyai kapasitas keilmuan tinggi, memiliki strata sosial terpandang, bahkan penghargaan berupa kekayaan. Tentu menjadi pertanyaan besar bagi penulis, apakah ada seseorang yang tidak melekat pada dirinya ketiga kriteria tersebut tetapi ketika kewafatanya Allah berikan reward berupa kedudukan yang tinggi dihadapan-Nya, bahkan dihadapan penduduk langit ? Tentu ada, beliau adalah Abah Sholeh ayahanda dari Romo yai Wawan yang layak mendapatkan high profile di hadapan Allah SWT. Kualitas hati serta balutan kebaikan yang selalu di Istiqomahkan tidak kalah dengan seorang kyai maupun priyayi, sehingga beliau merupakan sosok yang mastur di bumi tapi masyhur di langit.

Abah Sholeh lahir di tugu, kecamatan mantup, kabupaten Lamongan,
Dr. Kh. Darmawan M.Hi atau dikenal dengan dai wawan adalah putra semata wayang beliau, yai Wawan merupakan alumni dai TPI 2005 sekaligus dalam dunia akademisi beliau menamatkan program doktoral di uinsa Surabaya. Sedikit disampaikan bahwa Romo yai Wawan dalam menempuh pendidikan di perguruan tinggi tidak sepeserpun mengeluarkan biaya dari kantong keluarga maupun pribadi, bahkan beliau merupakan lulusan terbaik. Dari sekelumit keistimewaan tersebut tentunya ada peran dari seorang ayah di balik layar yang mungkin belum diketahui secara umum.

Bukan lahir dari keluarga ningrat

Perlu diketahui, Abah Sholeh tidak dilahirkan dari keluarga biologis yang berada, baik dari segi harta maupun tahta. Profesi Abah Sholeh adalah seorang petani tulen dan juga sesekali menjadi tukang asuh sapi milik orang lain. Sehingga kegigihan beliau dalam kehidupan ini adalah perjuangan tanpa henti. Tak ayal, beliau kerap di identikkan sebagai orang yang ” Akas ” atau ” enteng sikile “. Meskipun perjuangan beliau untuk keluarga banyak mengalami kesulitan, tetapi naluri beliau tidak menghindari kesulitan sembari menginginkan kemudahan. Kesulitan kerap kali dianggap sebagai hambatan yang melemahkan. Namun, jika direnungkan lebih dalam, kesulitan Abah Sholeh merupakan bagian dari proses transformasi menuju kemudahan beliau sampai saat ini.

Luman (suka memberi)

Sebuah estafet kebaikan yang tak pernah putus dari beliau adalah sifat lumannya. Siapa pun yang kenal dengan abah Sholeh pasti mengiyakan akan hal itu. Suatu ketika, penulis mengalami kejadian yang tidak masuk diakal. Singkat cerita pada saat itu saya dan beberapa teman berada di sebuah warung makan ” Rapi “. di tengah makan Abah Sholeh datang, yang kebetulan warung makan tersebut adalah langganan beliau. Umumnya, orang akan memesan makanan kemudian duduk di kursi sembari menunggu makanan datang. Tapi tidak dengan beliau, lirikan mata kami mengarah pada tangan beliau yang merabah saku hendak untuk membayar. Ketika uang dikeluarkan dan dihitung beliau menoleh pada kami dan berkata
“gak gowo duwek akeh rek, getun ngeneki gaiso bayari” sebuah majas penyesalan yang mungkin bukan kewajiban beliau untuk membayar tapi beliau merasa menyesal karena tidak bisa membayar makanan kami.

Belajar keistiqomahan pada hiruk pikuk perjalanan Abah Sholeh

Diisyaratkan dari romo yai syafi’, yai Wawan pernah mengatakan, bahwa jauh sebelum Abah Sholeh wafat, yai syafi’ mengatakan bahwa beliau nanti ketika wafat akan Allah angkat menjadi kekasih-Nya. Lantas apa yang beliau amalkan sehingga diberi keistimewaan oleh Allah swt ? Sedikit penulis jawab dari banyaknya amalan beliau yang selalu konsisten tanpa putus, satu adalah amalan Al Fatihah 1 hari 100 kali, dua adalah istighfar 300 kali dalam sehari, tiga adalah ketika beliau masih sakit pun menyempatkan untuk shalat berjamaah di masjid.

Usaha batiniyah untuk putranya

Dalam usaha mendidik anaknya, Abah Sholeh juga menggunakan pendekatan batiniyah, tirakat, dan mujahadah. Salah satunya yang penulis tahu adalah wasilah shalat tahajud di sepertiga malam dan shalat Dhuha yang tak pernah putus. Dalam usaha mendidik putranya Abah Sholeh tidak sendirian melaksanakan usaha tersebut, namun dilakukan bersama dengan emak sari. Selain itu, prinsip yang selalu diberikan Abah Sholeh kepada yai Wawan saat masih menempuh pendidikan baik di pesantren atau perguruan tinggi ialah berkenan dengan biaya. Yang mana beliau menuturkan bahwa ” Allah iku sugeh” yang artinya tidak perlu memikirkan tentang rezeki, yakin bahwa Allah akan mencukupi.

Al-Hikam, ” Idfin wujudaka fil ardhil khumuli” Pendamlah eksitensimu di dalam bumi dengan sebuah kerendahan, namun segala sesuatu yang tumbuh dengan ditanam, tidak akan sempurna buahnya.
laku yang mungkin dijadikan pijakan beliau dalam menapaki kehidupan yaitu berupa kerendahan hati serta ketawadhu’ an.

Akhir kata, sebuah panggilan Abah Sholeh kepada penulis yang jamak digunakan sampai saat ini oleh orang lain adalah sebutan “pak Cholis”. Semoga dengan penyebutan itu, menjadi sebuah hubungan kasih sayang dunia akhirat pakde. Amin

Artikel

Comments are disabled.