dalam perkembangan kontestasi politik dinegeri ini, para caleg, cabup, cagub, atau bahkan capres lagi gemar gemarnya berderma, memberi insentif bantuan, dan membangaun fasilitas sarana masyarakat. ada yang nilai nominal uang ada yang berntuk inmateri, ada yang nilai nya sedikit ada yang bernilai fantastis, menariknya hal ini masif terjadi dimana-mana dan selalu mengundang perhatian khalayak masyarakat luas. baik upaya mendapatkannya ataupun upaya mengkaji kebasahan dari sisi hukum negara maupun hukum agama,
berbagai nomenklatur pun disematkan mulai dari serangan fajar, janji manis, uang jalan. pemberian yang masif dan berduyun duyun yang diberikan juga mengundang pro dan kontra dari sisi kebolehan dan larangannya. apalagi dihadapkan pada hadits “orang yang menyuap dan yang disuap dineraka” sehingga masyarakat khususnya orang-orang islam dibingungkan anatara idealitas dan realitas, nilai ajaran dan kenyataan, yang berbeda dan memiliki kesenjangan. Disini imam alghozali menjelaskan secara terperinci terkait pemberian tendensi, motif, dasar dan teknis pemberiannya
Menurut al-Ghazali, hadiah dengan motif tertentu disebut memiliki beberapa hukum, yaitu:
- Hadiah dengan motif ingin mendapatkan pahala di akhirat. Maka ini disebut dengan sedekah dan qarabah (upaya mendekat kepada Allah). Dan hal ini dilegalkan oleh syariat.
- Hadiah dengan motif timbal balik materi di masa yang akan datang seperti seorang fakir miskin yang memberikan hadiah kepada orang kaya agar orang kaya tersebut memberikannya hadiah yang lebih besar. Maka ini disebut dengan akad hibbah bi syarthi tsawab. Dan hal ini dilegalkan oleh syariat meskipun tidak tercatat pahala karena tidak ada niatan ikhlas karena Allah.
- Hadiah dengan motif timbal balik jasa yang haram seperti memberikan hadiah agar berlaku dzalim, ataupun jasa yang wajib ain seperti memberikan hadiah agar hakim berlaku adil. Maka, hal ini disebut sebagai suap (risywah) dan haram untuk mendapatkannya.
- Hadiah dengan motif timbal balik jasa yang diperbolehkan syariat seperti memberikan hadiah agar orang lain mengantarkan suratnya pada tetangganya. Maka hal ini bisa dimasukan dalam akad ju’alah (sayembara) ataupun ijarah (upah) dan dilegalkan oleh syariat.(lihat kitab Ihya Ulumiddin karya Abu Hamid al-Ghazali [Dar Ma’rifah Beirut 2003] juz.2 hal.155)
dari sini bisa dilihat ketika praktek suap atau memberi supaya dapat suara tinggi dan berpotensi korupsi dapat menghilangkan pilihan bebas pemilih dan mendorong penyalahgunaan kekuasaan. . Lebih jauh lagi, praktik ini juga mendorong prilaku korupsi karena adanya biaya politik yang tinggi. Pasalnya, calon peserta pemilu atau pilkada harus mengeluarkan biaya puluhan hingga ratusan milyar untuk memenangkan pemilihan. Biaya ini dapat digunakan untuk membayar tim kampanye, iklan, dan menyogok pemilih untuk meraup suara pemilih. ketika dimunasabahkan dengan pandangan imam alghozali masuk pada point ke 3 dan kategori haram
berbeda ketika masuk akad hibbah bi syarthi tsawab Hadiah dengan motif timbal balik materi di masa yang akan datang seperti seorang yang memberikan hadiah kepada orang lain agar orang yang diberi tersebut memberikannya hadiah yang lebih besar dan tidak ada potensi kemadorotan atau keharaman maka masuk point ke 2 dalam padangan imam alghozali