Pola Sikap Manusia Kepada Tuhannya


Dalam perkembangan pola kehidupan manusia sering kali sama didalam bersikap menentukan sikap kepada Tuhannya, bahkan disebut dalam Al-Qur’an sering kali manusia tidak Bersyukur, tidak Berfikir, dan juga sering melupakan Nya, manusia lupa bahwa kita sesungguhnya adalah Mahluk Langit yang diturunkan dibumi untuk kembali melangit, Namun pada faktanya kita lebih kerasan di bumi dan lupa bagaimana naik ke Langit untuk menghadap dzat yang maha tinggi

Ada Tipe dimana manusia kepada Tuhannya itu bagai obat yang hanya digunakan ketika sakit, yakni menjadikan pola hubungan dengan Tuhan digunakan ketika dalam kondisi butuh, dan genting, Tuhan hanya dijadikan tempat singgah sementara ketika dibutuhkan dan juga tempat Terakhir ketika keadaan mendesak dan terhimpit, namun masih mending karena masih ada Kamus Allah didalam hidup nya. Masih mau berobat ditengah luka yang melanda, dan sakit yang mendera

Pola kedua manusia kepada tuhan itu bagaikan udara yang setiap saat kita gunakan untuk bernafas. Berhentinya kita menghirup udara adalah tanda kematian akan segera tiba. Mengingat kepada sang maha itu harus senantiasa kita panjatkan sebagai tanda keterhubungan kita dengan Al waly dzat yang maha menguasai dan Al-Qodir dzat yang maha kuasa atas segala galanya

Lupa atau enggan mengingat adalah tanda-tanda penyakit hati akan tumbuh dan berkembang subur didalam kalbu. Seringkali keengganan mengingat dan berdoa itu merupakan potret arogansi diri, perasaan bisa hidup sempurna tanpa Tuhan dalam hidupnya. Mungkin pula keengganan itu adalah karena keputusasaan yang disebabkan pola pandangnya yang sempit dan terbatas dengan menganggap kini adalah kini yang tak berkaitan dengan masa lalu dan masa depan.

Bisa jadi pula kelalaian disebabkan oleh “butanya” hati yang tak mampu melihat yang tak terlihat mata berupa hukum kekuasaan dan hukum perubahan yang merupakan bagian dari hukum alam. Begitu banyak yang melupakan al-Qadiir, Dzat Yang Maha Kuasa, hanya karena mendekat pada orang yang memiliki kekuasaan kecil sesaat,

Allah adalah Sumber Cahaya, al-Qur’an adalah cahaya, nabi dan Rasul adalah cahaya, agama adalah cahaya, ilmu adalah cahaya. Biasanya, cahaya itu dicari banyak orang ketika suasana sudah menjadi gelap. Tak heran jika kajian keagamaan seringkali lebih sepi ketimbang kajian non agama, orang yang datang ke ulama pemilik cahaya petunjuk lebih sedikit dibandingkan dengan yang datang ke “pemilik” dunia.
Agama, pengajian agama, dan ahli agama serta semua yang berkaitan dengan agama menjadi laku keras ketika musibah dan ujian rata terjadi di mana-mana, ketika kegelisahan dan kegalauan hati menjadi penyakit umum masyarakat, Masihkah kita menunggu gelap untuk bersama cahaya?

Artikel

Comments are disabled.