HUKUM SHALAT IED DAN TATA CARANYA


Kata Ied diambil dari lafadz عود (mengulang) karena pelaksanaan shalat Ied diulang – ulang setiap tahunnya. Sedangkan hukum sholat Iedain (idul fitri dan idul adha) adalah sunnah muakkad menurut pendapat yang shohih, Sebagian pendapat yang lain mengatakan fardhu kifayah. Baik dilakukan secara berjamaah, sendirian maupun dalam kondisi bepergian. Menurut Syaikh Sulaiman bin muhammad Al – Bujairomi dalam kitab Hasiyah Bujairomi Alal – manhaj menjelaskan bagi mereka yang sedang beribadah haji, maka tidak disunnahkan melaksanakan shalat Ied dengan cara berjamaah dikarenakan kesibukan mereka dalam menjalankan beberapa ritual haji. Kecuali mereka melakukan shalat Ied sendirian, maka disunnahkan karena waktunya shalat hanya sebentar sehingga memungkinkan untuk menjalankan amalan – amalan ibadah haji lainnya. Setelah sholat Ied dilaksanakan khutbah sebagaimana khutbah shalat jumat. Jika tidak ada khutbah, maka sholatnya tetap sah dan bagi yang sholat sendirian menurut pendapat yang shohih tidak memerlukan khutbah.

Shalat Ied secara kaifiyah sama seperti shalat lainnya. Terdapat rukuk dan sujud, hanya saja tidak didahului dengan adzan sebagaimana shalat Istisqo’. Hal ini sesuai dengan salah satu keterangan dalam kitab Bujairomi Alal – Khatib. Adapun waktunya sholat Ied adalah saat terbitnya matahari. Lebih utama saat matahari telah naik kira-kira satu tumbak berdasarkan sebuah hadits serta untuk menghindari perbedaan ulama’. Dan berdasarkan kesepakatan para ulama’ berakhirnya waktu sholat Ied adalah saat matahari bergeser dari tengah langit.

Sebagaimana tata cara shalat – shalat yang lainnya, maka shalat Ied juga mempunyai Kaifiyah tersendiri. Berikut panduan tata cara shalat Ied yang kami nukil dari keterangan beberapa Kutubussalaf :

Pertama, shalat Ied ini diawali dengan niat. Niat ini sunnah dilafadzkan untuk membimbing hati membaca niat yang sama. Sedangkan waktunya niat bersamaan dengan Takbirotul ihram. Adapun niat shalat Ied adalah sebagai berikut :

أُصَلِّيْ سُنَّةً لعِيْدِ اْلأَضْحَى / الْفِطْرِ رَكْعَتَيْنِ (مَأْمُوْمًا/إِمَامًا) لِلّٰهِ تَعَـــال

Artinya: “Aku berniat shalat sunnah Idul Adha / Fitri dua rakaat ( menjadi makmum/imam ) karena Allah ta’ala.”

Jika shalat dilaksanakan sendirian, tidak perlu menambah kata di dalam kurung ( imaman atau makmuman ). Namun, ketika menjadi imam, perlu menambahkan kata “ إماما ”, begitupun ketika menjadi makmum perlu menambah kata “ مأموما ” sebagaimana termaktub di atas. Kemudian membaca doa Iftitah seperti biasanya. Setelah membaca doa Iftitah, shalat ini dilanjutkan dengan membaca takbir tambahan dengan mengangkat tangan sebanyak tujuh kali untuk rakaat pertama dan lima kali untuk raka’at kedua. Mengenai kebiasaan sebagian masyarakat jawa yang membaca doa Iftitah setelah melakukan takbir tambahan kemungkinan mengikuti pendapat Imam Al – Auza’i seperti termaktub dalam kitab Al – majmu’ berikut ini :

وَمَذْهَبُنَا أَنَّ دُعَاءَ الِافْتِتَاحِ فِي صَلَاةِ الْعِيدِ قَبْلَ التَّكْبِيرَاتِ الزَّوَائِدِ وَقَالَ الْأَوْزَاعِيُّ يَقُولُهُ بَعْدَهُنَّ
(النووي ,المجموع شرح المهذب ,5/21)
“ Menurut madzhab kami ( Syafi’iyah ) sesungguhnya doa Iftitah di dalam shalat Ied dibaca sebelum takbir tambahan. Dan Imam Al – Auza’i berkata : Doa Iftitah dibaca setelah takbir tambahan. “

Sedangkan status takbir tambahan di atas bukan fardhu atau sunnah Ab’ad akan tetapi berstatus sunnah Hai’at. Sehingga, ketika seseorang meninggalkannya baik karena faktor lupa maupun menyengaja, maka baginya tidak disunnahkan sujud Sahwi, meskipun hukum meninggalkannya makruh. Sebagaimana komentar Syaikh Syamsuddin Muhammad As – Syarbini dalam kitab Al – Iqna’ di bawah ini :
وَهَذِه التَّكْبِيرَات من الهيئات كالتعوذ وَدُعَاء الِافْتِتَاح فلسن فرضا وَلَا بَعْضًا فَلَا يسْجد لتركهن وَإِن كَانَ التّرْك لكلهن أَو بَعضهنَّ مَكْرُوها وَيكبر فِي قَضَاء صَلَاة الْعِيد مُطلقًا لِأَنَّهُ من هيئاتها كَمَا مر
( الخطيب الشربيني ,الإقناع في حل ألفاظ أبي شجاع ,1/187)

Beberapa takbir tambahan ini termasuk sunnah Hai’at. sebagaimana ta’awudz dan doa Iftitah. Bukan fardhu dan sunnah Ab’ad. Maka tidah disunnahkan sujud Sahwi karena meninggalkannya, meskipun makruh meninggalkan keseluruhan atau sebagiannya. Dan sunnah melaksanakan takbir di dalam mengqhodo’ shalat Ied secara mutlak karena termasuk sunnah Hai’at. ( Al Iqna’ Juz 1. Hal 187 ) “

Selanjutnya disunnahkan berhenti sebentar setiap di antara dua takbir tambahan tersebut kira-kira satu ayat tidak panjang juga tidak pendek. Di saat itu disunnahkan bertahlil, bertakbir dan memuji Allah, misalnya dengan membaca kalimat :
سٌبْحَانَ اللهٌ وَالْحَمْدُ لِلّهِ وَلاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَ اللهُ أَكْبَرُ
Artinya : “ Maha suci Allah. Segala puji bagi Allah. Tiada tuhan kecuali Allah. Allah maha besar.\

Apabila seorang mushalli baik imam maupun makmum lupa dalam meninggalkan takbir tambahan, maka menurut Imam An – Nawawi ada beberapa ketentuan sebagaimana keterangan dalam kitab Al – Majmu’ berikut ini :
( فَرْعٌ )
لَوْ نَسِيَ التَّكْبِيرَاتِ الزَّائِدَةَ فِي صَلَاةِ الْعِيدِ فِي رَكْعَةٍ فَتَذَكَّرَهُنَّ فِي الرُّكُوعِ أَوْ بَعْدَهُ مَضَى فِي صَلَاتِهِ وَلَا يُكَبِّرُهُنَّ وَلَا يَقْضِيهِنَّ فَإِنْ عَادَ إلَى الْقِيَامِ لِيُكَبِّرَهُنَّ بَطَلَتْ صَلَاتُهُ إنْ كَانَ عَالِمًا بِتَحْرِيمِهِ وَإِلَّا فَلَا وَلَوْ تَذَكَّرَهُنَّ قَبْلَ الرُّكُوعِ إمَّا فِي الْقِرَاءَةِ وَإِمَّا بَعْدَهَا فَقَوْلَانِ (الصَّحِيحُ) الْجَدِيدُ أَنَّهُ لَا يَأْتِي بِهِنَّ لِفَوَاتِ مَحَلِّهِنَّ وَهُوَ قَبْلَ الْقِرَاءَةِ وَالْقَدِيمُ يَأْتِي بِهِنَّ سَوَاءٌ ذَكَرَهُنَّ فِي الْقِرَاءَةِ أَوْ بَعْدَهَا مَا لَمْ يَرْكَعْ وَعِنْدَهُ أَنَّ مَحَلَّهُنَّ الْقِيَامُ وَهُوَ بَاقٍ فَعَلَى الْقَدِيمِ لَوْ تَذَكَّرَ فِي أَثْنَاءِ الْفَاتِحَةِ قَطَعَهَا وَكَبَّرَهُنَّ ثُمَّ اسْتَأْنَفَ الْفَاتِحَةَ وَلَوْ تَذَكَّرَهُنَّ بَعْدَ الْفَاتِحَةِ كَبَّرَهُنَّ وَيُسْتَحَبُّ اسْتِئْنَافُ الْفَاتِحَةِ وَفِيهِ وَجْهٌ شَاذٌّ حَكَاهُ الرَّافِعِيُّ أَنَّهُ يَجِبُ اسْتِئْنَافُ الْفَاتِحَةِ (وَالصَّوَابُ) الْأَوَّلُ وَبِهِ قَطَعَ الْجُمْهُورُ وَنَصَّ عَلَيْهِ فِي الْأُمِّ وَاتَّفَقُوا عَلَى أَنَّهُ لَوْ تَرَكَهُنَّ حَتَّى تَعَوُّذَ وَلَمْ يَشْرَعْ فِي الْفَاتِحَةِ أَتَى بِهِنَّ لِأَنَّ مَحَلَّهُنَّ قَبْلَ الْقِرَاءَةِ وَتَقْدِيمُهُنَّ عَلَى التَّعَوُّذِ سُنَّةٌ لاشرط ( النووي ,المجموع شرح المهذب ,5/19 )

“ Cabang hukum : Apabila seseorang lupa melakukan takbir tambahan di dalam shalat Ied baik rakaat pertama mupun kedua, kemudian dia ingat pada saat ruku’ atau setelahnya, maka baginya melanjutkan gerakan shalatnya dan tidak boleh menqodho’ takbirnya. Apabila dirinya kembali berdiri serta malakukan takbir maka, batal shalatnya. Demikian apabila dirinya mengetahui tentang hukum keharamannya. Andaikata tidak mengetahui, maka shalatnya tidak batal. Jika dirinya ingat takbir yang ditinggalkan sebelum ruku’, bisa di tengah – tengah saat membaca Alfatihah atau setelahnya selama belum ruku’, maka menurut qoul Qodim dirinya wajib memutus bacaan fatihahnya serta melakukan takbir tambahan. Kemudian memulai lagi fatihahnya dari awal. Dan hukum memulai fatihah dari awal ini adalah sunnah. Sedangkan pendapat yang mengatakan wajib memulai fatihah dari awal menurut Imam Ar – rofi’i merupakan pendapat Syadz. Sebagaimana Nash Imam Syafi’i dalam kitab Al – Um.
Dari dua pendapat di atas yang dianggap benar adalah pendapat pertama dan didukung oleh Jumhurul ulama. Yakni mushalli langsung melanjutkan shalatnya tanpa menqodho’ takbirnya. Para ulama sepakat andaikata seseorang meninggalkan takbir tambahan sampai dirinya membaca taawudz dan belum membaca fatihah, maka baginya boleh melakukan takbir tambahan dikarenakan posisi dirinya belum membaca fatihah. Sedangkan mendahulukan taawudz adalah kesunnahan, bukan syarat.”( Al – majmu’. Juz 5 hal. 19 )

Kedua, disunnahkan membaca Ta’awwudz. Berikutnya membaca surat Al – fatihah dan surat Al – qof pada rakaat pertama dan membaca surat Iqtarobatis sa’atu pada rakaat kedua. Kemudian dilanjutkan dengan ruku’, I’tidal, sujud, dan duduk di antara dua sujud, hingga berdiri lagi seperti shalat biasa. Hal ini juga berlaku untuk raka’at yang kedua hingga salam. Dalam hal membaca Al-fatihah, surat dan takbir disunnahkan membaca dengan Jahr atau keras. Sedangkan dzikir di antara takbir tambahan dibaca secara sirri atau pelan.

Ketiga, jamaah disunnahkan untuk menyimak khutbah Idul Adha atau Idul fitri lebih dahulu usai salam. Jika tidak mendengarkan khutbah semisal langsung pulang sebagaimana fenomana yang sering terjadi pada sebagian masyarakat jawa, maka tidak apa – apa. Hanya saja, makruh hukumnya. Hal ini juga telah disinggung oleh Imam Syaf’i’i dalam kitab Al – Um juz 1. hal. 273 sebagai berikut :

(قَالَ الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى -) : وَأُحِبُّ لِمَنْ حَضَرَ خُطْبَةَ عِيدٍ أَوْ اسْتِسْقَاءٍ أَوْ حَجٍّ أَوْ كُسُوفٍ أَنْ يُنْصِتَ وَيَسْتَمِعَ، وَأُحِبُّ أَنْ لَا يَنْصَرِفَ أَحَدٌ حَتَّى يَسْتَمِعَ الْخُطْبَةَ فَإِنْ تَكَلَّمَ أَوْ تَرَكَ الِاسْتِمَاعَ أَوْ انْصَرَفَ كَرِهْتُ ذَلِكَ لَهُ، وَلَا إعَادَةَ عَلَيْهِ وَلَا كَفَّارَةَ، وَلَيْسَ هَذَا كَخُطْبَةِ يَوْمِ الْجُمُعَةِ لِأَنَّ صَلَاةَ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَرْضٌ.
( الأم للشافعي، ٢٧٣/١ )
“Berkata Imam Syafii rohimahulloh : Saya senang kepada orang yang mendatangi khutbah sholat ‘Ied, Istisqo’, dan sholat Khusuf untuk diam dan istima’ (mendengarkan khutbah). Dan aku senang salah satu dari musholli untuk tidak meninggalkan majlis sampai dirinya mendengarkan khutbah (sampai selesai khutbah). Maka Apabila seseorang tersebut berbicara atau meninggalkan Istima’ (tidak mendengarkan khutbah) atau pergi tanpa menanti khutbah selesai, maka hal itu makruh baginya. Dan tidak ada I’adah ( mengulang ) serta Kafarot baginya. Dan yang demikian ini tidak seperti mendengarkan khotbah sholat Jum’ah karena sholat jum’ah adalah sholat Fadhu (wajib).”

Demikian juga apabila tidak terdapat khutbah, maka sholatnya tetap sah dan bagi yang sholat sendirian, menurut pendapat yang shahih tidak memerlukan khutbah.

Umat Islam disunnahkan untuk sebanyak-banyaknya melafadzkan takbir bagi selain jama’ah haji. Hal ini bisa dilakukan baik di masjid, tempat umum maupun pasar pada malam hari raya Idul Adha dan Idhul fitri. Sedangkan bagi jamaah haji kesunnahan membaca Takbir adalah pada tiap – tiap selesai shalat maktubah, dan dimulai semenjak waktu dhuhur Yaumun Nahr (hari raya kurban) sebagaimana pendapat Imam As – Syarbini. Untuk Idhul Adha disunnahkan membaca takbir Muqoyyad setiap selesai shalat lima waktu mulai bakda shubuh hari Arafah (9 Dzulhijjah) hingga selesainya hari Tasyrik saat matahari terbenam di tanggal 13 Dzulhijjah. Sedangkan untuk Idhul fitri disunnahkan membaca takbir Mursal sebanyak – banyaknya mulai malam 1 syawal sampai ketika khatib naik mimbar untuk berkhutbah.

Adapun adab atau kesunnnahan sebelum shalat ied adalah sebagai berikut :
Mandi setelah fajar. Adapun mandi sebelum fajar maka, hukumnya jawas. Hal ini berlaku untuk Idhul fitri maupun Adha.
Berhias diri mulai tengah malam. Dan kesunnahan berhias diri ini tidak hanya berlaku untuk orang laki – laki saja, Tetapi juga untuk perempuan di dalam rumahnya. Begitu juga sunnah memakai pakaian baru. Lebih diutamakan yang berwarna putih sebagaimana kesunnahan dalam shalat jumat.
Memakai wewangian dan memotong kuku (Ied Adha) bagi mereka yang tidak sedang menjalankan ihram haji. Adapun waktu kesunnahan memotong kuku dan rambut adalah setelah selesai memotong hewan qurban sebagimana pendapat Syaikh Sulaiman Al – Bujairami.
Berangkat pagi setelah shalat shubuh bagi selain imam di waktu hari Ied Adha. Hal ini berlaku bagi mereka yang rumahnya dekat dengan masjid sebagaimana pendapat Imam Al – Barmawi. Sedangkan imam disunnahkan datang saat akan melaksanakan shalat Ied. Berbeda dengan Ied fitri, disunnahkan berangkat lebih akhir. Hikmah dari keduanya supaya memberi kelonggaran waktu untuk menyembelih hewan qurban pada saat Ied Adha serta memberi kelonggaran waktu pembagian zakat fitrah pada saat Ied fitri.
Disunnahkan sarapan pagi sebelum shalat Ied fitri. Sedangkat pada saat hari raya Ied Adha tidak disunnahkan sarapan sampai selasainya shalat Ied.
Pada saat berangkat ke masjid atau tempat untuk shalat disunnahkan melewati jalan yang jaraknya lebih jauh. Dan ketika pulang disunnahkah melawati jalan yang jaraknya lebih dekat.
Makruh melakukan shalat sunnah qobliyah maupun ba’diyah sebelum shalat Ied fitri. Sedangkan untuk selainnya (Ied adha) disunnahkan shalat sunnah ketika matahari mulai muncul sebagaimana keterangan kitab Al – fiqhu Al – Manhaj.

Ditulis oleh Musyafa’ Fathoni, Staf pengajar YPP BULMAH, Alumnus ponpes Al – Anwar sarang, Aktivis LBM PCNU Lamongan.
Referensi :
Dr. Musthofa Al – Bugho. Al – fiqhu Al -Manhaj ( Maktabah Syamilah )
Dr. Musthofa Al – Khon. Al – fiqhu Al -Manhaj ( Maktabah Syamilah )
Muhammad Bin Idris As – Syafi’i. Al – Um. ( Maktabah Syamilah )
Muhyidddin yahya bin Syarof An – Nawawi. Al – Majmu’. ( Maktabah Syamilah )
Syamsuddin Muhammad bin Ahmad As – Syarbini. Al – Iqna’. ( Maktabah Syamilah )
Sulaiman bin Muhammad bin Umar Al – Bujairami. Bujairami Alal – Manhaj. ( Maktabah Syamilah )

Artikel

Comments are disabled.